Kamis, Desember 02, 2004

Guru Pengganti

Tulisan ini ada hubungan dengan Hari Guru Nasional 7 Desember 2004

Mainstream job di keluarga saya adalah guru atau seniman, atau kedua-duanya.

Mendiang Kakek saya dari Ayah adalah seorang guru. Sayang, saya tidak begitu mengenal beliau dan tidak tahu riwayat keguruannya.

Almarhum Kakek saya dari Ibu merupakan pendiri STM (sekarang SMK) pertama di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Meskipun sudah pensiun dari PNS, sampai akhir hayatnya di usia 72 tahun, beliau masih mengajar di beberapa SMU di Banda Aceh.
Kasih belum umur 3 tahun
Almarhumah Nenek saya dari Ibu adalah aktivis perempuan dari jaman sebelum kemerdekaan, mendirikan taman kanak-kanak yang terbesar di Banda Aceh. Fakta membuktikan, tk yang sudah berdiri dari tahun 1971 itu muridnya setiap tahun tidak kurang dari 500 orang.

Ayah dan Ibu saya guru. Sampai sekarang.

Saudara Ayah dan Ibu saya banyak yang menjadi guru atau dosen. Begitu juga sepupu-sepupu saya.

Bunda Kasih juga merupakan guru tk dengan pengalaman mengajar di Jakarta, Banda Aceh, dan sekarang di Jambi.

Saya sendiri mantan guru organ dan piano klasik di sebuah sekolah musik di Banda Aceh (mulai mengajar sewaktu masih kelas 3 SMP). Saya mengajar selama 3 tahun, sebelum akhirnya pindah ke Bandung.

Ini adalah cerita tentang Kasih umur 3 tahun, sewaktu masih playgroup di Banda Aceh.

Alkisah, dalam kelas Kasih ada 3 orang guru. Suatu hari, kebetulan satu guru berhalangan.

Seorang guru lagi ada keperluan mendadak sebentar, sehingga hanya tinggal satu guru.

Seperti biasa, ada saja anak yang minta diantar pipis. Sang guru yang tinggal satu harus mengantar anak tersebut ke wc, tapi ia juga khawatir meninggalkan anak-anak yang lain.

"Kasih, tolong jaga teman-teman, ya?", ini adalah pesannya sebelum meninggalkan kelas.

Setelah guru tersebut menghilang, Kasih maju ke depan kelas dan duduk di kursi guru.

"Anak-anak, tau bu Dewi?" (bu Dewi adalah guru tk yang satu kompleks dengan playgroup)

"Tauuuuu!", jawab teman-temannya sekelas.

"Bu Dewi itu perutnya gendut karena makan anak yang suka ribut. Mau dimakan sama bu Dewi?", tanya Kasih dengan gaya guru profesional.

"Ndak mauuuu!", koor para bocah.

"Makanya anak-anak jangan ada yang ribut. Nanti kalau ribut, bu Dewi datang kesini dan anak yang ribut pasti dimakan...."

Alhasil, berkat guru pengganti tersebut, kelas tetap hening sampai guru yang sebenarnya kembali dari wc.

(seperti yang diceritakan kembali oleh seorang guru tk senior, yang kebetulan lewat dan mengintip ke kelas Kasih)

Rabu, Desember 01, 2004

Bojo

Jika ada pembicaraan yang tidak boleh diketahui Kasih, saya dan Bunda Kasih menggunakan bahasa Jawa sebagai secret language.Tapi namanya juga anak-anak, dalam diam rupanya ia pasang kuping.

Karena Bundanya punya kebiasaan nge-mix bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, akhirnya arti beberapa kata diketahui dengan sendirinya. Misalnya bilangan 1 sampai 10, sumuk (panas), dan mbuh (tidak tau).

Pernah ia bertanya:

"Bunda, bojo artinya apa?"

"Bojo artinya suami atau istri", jawab bundanya.

"Kalau Ayah bojo-nya Bunda, sedangkan Bunda bojo-nya Ayah", saya menambahkan.

Kasih dan BundaSo, kosakata bahasa Jawanya bertambah.

Suatu hari, Kasih dimarahi Bunda. Perlu diketahui, Bunda Kasih kalau marah tak cukup sebentar, bisa ngomel jam-jaman.

Kasih yang suntuk dimarahin terus akhirnya mengadu ke saya.

"Ayah, BOJOMU cerewet nian!"